Detik-detik mendebarkan dalam hidupku, sejarah baru
“Mengapa kau diam sayang? ” Ibu
menepuk pundakku, hilang seketika lamunan panjang yang tercipta.
“Tak apa bu, hanya memikirkan
sesuatu untuk nanti..” Jawabku lirih menatap ibu.
Suasana rumah semakin ramai,
tenda biru selesai dipasang, nama Afif
& Frisa menggantung pada janur kuning terlihat di sudut gang siap jadi
kompas para undangan.
“Kamu memang anak yang sholehah,
maafkan ibu ya nak. Ibu melakukan ini karena amanat dari almarhum ayahmu, cinta
kan tumbuh
seiring berjalannya waktu, percaya sama ibu. Dulu, ibu pun begitu, ibu yakin
kamu mampu mencintainya..” ujar ibu hangat.
“Kenapa perjodohan ini harus terjadi?, aku tidak mencintainya bu, dan
sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa mencintainya. Sulit rasanya menerima
kenyataan..” Lirih hati terluka,
hanya menitikkan airmata mendengar ucapan wanita hebat dihadapanku.
“Kenapa diam, nak? ” tanya ibu
memandangku.
“Tak apa bu, insyaallah aku bisa
mencintai suamiku. Aku sayang ibu…” Mencoba tersenyum didalam tangis.
Terlihat ibu mengerti isi hati
saat ini. Ada
luka, ada sakit, ada derita yang terselip, tapi ibu hanya diam dan memeluk
tubuhku erat. Terasa hangat dan hilang beban sesaat, selalu seperti ini mungkin
takan ada airmata tercipta.
****
Akhirnya, hari menegangkan tiba.
Tak ada suka serta bahagia, hanya duka dan luka. Korbankan hati demi semua,
yang dicinta telah terhianati demi perjodohan, ntah dimana ia kini terakhir
bersua saat purnama seminggu yang lalu, semoga ia bahagia dengan cinta yang
baru begitupun denganku.
Ijab-qabul segera dimulai,
terlihat kebaya putih dengan melati melingkar disekeliling kerudung cantik
berseri, berjalan diantara tamu tanpa melepas genggaman ibu. Semua memandangku,
entah karena aku cantik atau mungkin tak ada garis senyum menawan di wajah pagi
ini. Kupandang wajah ibu, bahagia. Adik-adikku, bahagia. Apa mungkin ayah berbahagia
menatapku memakai kebaya cantik seperti ini.
Tiba-tiba dadaku sesak, mendung
sesaat dan hujan. Ada
sesuatu yang bergerak dihati saat menyimak Ijab-Qabul tersebut, airmata menetes
basahi pipi, kupeluk ibu kuat. Semua menatapku heran, saat itu aku berfikir
untuk pertama kalinya “Aku mengerti
sekarang, cinta yang sesungguhnya. Kini, aku harus mencintai suamiku,
bagaimanapun juga aku harus mencintainya demi Ridho-Mu dan kedua orangtuaku.
Jika tidak, pintu neraka siap menanti. Aku kan belajar mencintai suamiku untuk
selama-lamanya, karena dia yang wajib aku cinta sekarang. Masalalu maafkan aku
karena kamu bukan cinta sejatiku. Ya Allah, izinkan aku berbakti untuk suamiku,
belajar mencintai kekurangannya...” Do’aku
berharap Allah beri yang kumau, bunga pengantin takan pernah kulupa, saat itu
juga cinta mulai tumbuh dari hati untuk suamiku.
0 Response to "Contoh Cerpen - Bunga Pengantin"
Posting Komentar
Tinggalkan komentar positif, salam sayang saling mengunjungi