Guru Tak Hanya Mengajar Tapi Mendidik

Guru Tak Hanya Mengajar Tapi Mendidik

Oleh: Kartika Nawangsasi, S.S.

Dulu, ketika saya masih sekolah, saya mendapati bahwa guru itu singkatan dari digugu lan ditiru (diperhatikan dan dicontoh). Tetapi betapa terkejutnya saya, ketika mendengar anak-anak kita mengatakan bahwa guru itu singkatan dari nek minggu turu (kalau hari minggu, tidur). Sungguh miris hati saya. Sejauh itukah cara pandang mereka terhadap kita? Kita datang setiap Senin sampai Sabtu ke sekolah sebagai prasyarat saja untuk mendapatkan materi? Sebegitukah ketidakproduktifan kita? Lalu kemana perginya tanggungjawab, dedikasi dan gelar pahlawan tanpa tanda jasa? Berawal dari plesetan singkatan guru dan pertanyaan-pertanyaan di atas, saya berniat memulai tulisan ini. Bukan bermaksud menggurui, ini sekedar berbagi.
Menoleh kepada sejarah lahirnya pendidikan di Indonesia, kita tidak bisa berpaling dari peran Ki Hajar Dewantara. Beliau juga yang melahirkan istilah Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. (kira-kira begini artinya: di depan memberi teladan, di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa, di belakang memberi dorongan). Bahkan tiga kata terakhir tertulis pada logo Departemen Pendidikan kita. Sungguh, suatu motto yang luar biasa. Dan memang, Ki Hajar Dewantara tidak begitu saja merangkai kalimat tadi, ada pemahaman yang mendalam. Terpaut sekitar 1 abad antara kalimat itu pertama kali lahir sampai hari ini, marilah coba kita cermati beberapa hal yang terjadi direntang waktu tersebut.

Guru Adalah Profesi yang Mulia

Sebelumnya, ada baiknya saya sedikit bercerita tentang kisah yang terjadi di sekolah kita yang tercinta ini. Beberapa waktu yang lalu wali kelas 6, mendata murid-murid dengan daftar pertanyaan yang salah satunya menanyakan tentang cita-cita. Berbagai macam profesi mereka sebut, tetapi ada satu hal yang membuat saya tersenyum kecut. Hanya ada dua diantara 75 murid yang ingin menjadi guru ketika sudah besar nanti. Benar, hanya dua dan ini tidak salah ketik ataupun salah lihat. Barangkali, bagi mereka guru adalah profesi pilihan terakhir. Kalau sudah tidak bisa jadi apa-apa ya jadi guru saja. Dan mudah-mudahan ini hanya prasangka saya saja. Padahal, di masa perang dan dimulainya pergerakan bangsa, guru adalah profesi yang sangat mulia. Sampai-sampai muncul sebutan Den Mas Guru. Apa sebenarnya yang terjadi?
Saya pribadi memang belum lama berprofesi sebagai guru. Tetapi jujur, sebenarnya saya punya pilihan profesi yang lain. Namun saya lebih memilih menjadi guru karena saya bisa mencium aroma pahala pada profesi ini. Nah, ketika saya mengubah konsep berpikir saya tentang profesi ini, ternyata dampaknya sungguh luar biasa. Saya melihat, mendengar dan merasakan sendiri betapa pentingnya profesi ini. Tak ada yang bisa dihasilkan oleh suatu bangsa jika tidak ada generasi penerusnya yang mau “belajar”.
Profesi guru menjadi profesi kelas dua dalam pandangan masyarakat kita, bukan karena profesi ini tidak lagi menjadi mata rantai yang penting, tetapi lebih kepada sikap yang dimunculkan oleh –kalau boleh saya sebut oknum- guru. Merendahkan diri dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak perlu. Guru yang hanya mendidik dan hanya mendidik justru mendapat julukan “Oemar Bakri”. Memang, guru tidak hanya menjadi guru ketika berada di dalam kelas, tetapi dia tetap menjadi guru ketika berada di jalan, rumah, dapur bahkan ketika berhenti mengajar, profesi guru tetap melekat.

Tanggungjawab dan Dedikasi

Oh ya, tiba-tiba saya teringat tentang seorang sahabat yang bercerita tentang kisah suaminya. Suaminya ditanya temannya, “Istrimu kerja apa?” Suami sahabat saya itu menjawab,”Jadi guru”. Lalu temannya menyambung, “Ooh jadi guru?” Lalu dengan cepat suami sahabat saya itu menambahkan kalimatnya,”Tapi istriku bukan guru yang biasanya.” Ya, rupanya ada anggapan yang beredar bahwa guru itu adalah pekerjaan yang sederhana, mudah dan siapa saja bisa melakukannya. Suami teman saya itu tahu, bahwa istrinya sangat berdedikasi pada pekerjaannya dan amat mencintai anak didiknya. Kekhawatiran terhadap ketidakbiasaan mereka dalam mengerjakan soal, problem keseharian anak, keinginan memberi yang terbaik, rupanya selalu menjadi bagian dalam diskusi suami-istri ini, dan bahkan sesekali disertai dengan linangan air mata. Ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan sepele, namun Alhamdulillah, di sekolah kita bukan beliau seorang yang seperti itu. Saya juga yakin ada banyak guru lain yang berada di luar sekolah kita, yang juga punya semangat juang dan dedikasi yang tinggi. Jangan salahkan masyarakat ketika mereka menggeneralisasikan pendapat bahwa ada dua standar yang berbeda yaitu guru yang biasa dan guru yang luar biasa. Itu adalah cerminan dari sikap yang ditunjukkan atau paling tidak, tampak dalam keseharian kita. Ketepatan waktu, kedisiplinan, kerapian admisnistrasi adalah sebagian kecil dari mataair yang akhirnya bermuara pada sikap tanggungjawab dan dedikasi.

Guru Juga Manusia

Guru adalah seseorang yang banyak tahu segala. Stigma ini mestinya segera diubah. Guru adalah manusia biasa yang juga mempunyai banyak kekurangan. Guru bukan malaikat yang selalu benar. Kemajuan jaman, membuat anak didik kita terkadang tahu terlebih dahulu dibandingkan guru. Dalam sepersekian detik, ada berita dan ilmu baru yang berkembang. Mempertahankan pendapat secara serampangan justru bisa menjadi pemicu berkurangnya rasa hormat mereka terhadap gurunya. Menyikapi hal seperti ini, tidak ada salahnya kalau kita “menjanjikan” jawaban atas persoalan yang ada. Konsekuensi logisnya adalah menjaga agar kita dapat mempertahankan kecepatan “berlari” supaya jarak yang terjadi antara kita dan anak didik tidak terlalu jauh. Jangan gaptek (gagap tekhnologi), perluas bacaan, perlebar mata dan telinga.

Produktif

Produktif adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan sesuatu. Almarhum nenek saya adalah penjual roti. Beliau hampir setiap hari selalu membuat roti. Roti kacang dan roti selai. Seumur hidupnya beliau sangat produktif. Namun tiap hari yang dibuat ya hanya roti kacang dan roti selai saja. Produktif tapi monoton. Produktif tapi tidak ada sesuatu yang baru. Ya, kita tidak boleh hanya produktif saja tetapi harus disertai dengan inovasi. Kejenuhan anak-anak dalam menyerap materi adalah salah satu problem utama yang dialami oleh guru. Apalagi kalau waktunya di jam-jam terakhir. Biasanya sebuah inovasi, sesuatu yang baru, diminati oleh anak-anak. Jadikan hari minggu menjadi proyek kita untuk menghasilkan sesuatu yang inovatif. Jadi tidak ada lagi minggu turu.

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Jangan pernah takut kehilangan gelar itu, karena kita memang tidak pernah memakainya. Derajat kita akan jauh lebih mulia kalau kita berlapang dada mengubah stigma, mengalirkan mata air dedikasi, bertanggungjawab, terus produktif dan selalu berinovasi. Kita akan menjadi pendidik yang baik, bukan sekedar mengajarkan ilmu kepada anak-anak kita. Biarkan penghormatan dan gelar terhadap guru itu timbul dengan sendirinya dalam diri mereka, anak-anak didik kita. Tak perlu dijepitkan di dasi atau menjadi hiasan manis yang disematkan di jilbab kita.

0 Response to "Guru Tak Hanya Mengajar Tapi Mendidik"

Posting Komentar

Tinggalkan komentar positif, salam sayang saling mengunjungi