Sepenggal Cerita dalam Novel



HUJAN SORE INI

Aku tertunduk lesu, amplop ditangan bagiku duka terdalam. Tinta tak nyata berwujud kata, hujan layukan amplopku, samarkan tinta tak mampu dibaca, buyar menyatu dengan hujan. Airmata menetes basahi perih hati, sesal dirasa sore ini, hanya karena lipatan kertas ini airmata sudi menetes. Ingin mengulang segala tapi tak bisa, terlambat. Andai pemilik waktu itu adalah aku, sudah kuputar waktu yang kuanggap gagal, kucoba agar tak lagi mengiba, habiskan airmata.

“Ya Allah, Mungkinkah ini akhir dari skenario hidupku? kesedihan dan kegagalan yang kuraih?” Isakku tanpa henti, sesekali meraba amplop merah jambu ditangan, berharap ada sedikit kata dapat kueja. Semuanya percuma, nihil. Sedikitpun usaha, tak mampu pecahkan semua.
“Kau kenapa, Rin?” Tiba-tiba Halwah muncul dari belakang punggung, bingung melihatku terduduk lesu.
“Hujan melemahkan ragaku” jawabku sedih, isak semakin jelas terdengar. Halwah nampak bingung, duduk disampingku dan merangkul pundak lusuh terguyur hujan.
“Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan, kau pucat sekali, badanmu menggigil kedinginan, kau dari mana saja, Rin? Lebih baik kau bersihkan dulu tubuhmu ini, kau bisa sakit nanti” Halwah begitu panik mendapati kondisi lemahku.
“Aku tak bisa berdiri, aku lemah. Tubuhku seperti kaku, aku tak mampu” Tangisku semakin menjadi. Tepiskan sore di kota Semarang. Hanya awan hitam, guntur beserta hujan ramaikan kepedihan.
“Meskipun aku tak mengerti apa yang membuatmu menangis, Tapi, aku harap kau bisa sedikit tenang. Coba katakan padaku apa yang membuat kau sedih, saudaraku?” Perempuan blasteran  Indo-Arab itu mencoba hapus airmata di tengah deras hujan yang jelas menertawakan kekalahan, kegundahan dan semua rasa menyakitkan yang tak kuharapkan, ditertawakan hujan.
Kucoba tahan pilu, resah sore itu. Aku seperti tak miliki kaki, tubuhku lemah seperti gumpalan daging tak bertulang, dingin menusuk tajam, gelap berkunang-kunang, dan aku tak tahu lagi apa yang terjadi sore itu.
*******

“Kau sudah bangun, Rin.” Sapa wanita berhidung lancip, Halwah. Ia nampak senang saat kubuka mata, mendekat dengan senyum indah. Kulihat di sekeliling, hanya ada Halwah dan beberapa wanita berjubah putih tersenyum menatapku membawa alat-alat yang tentu membuatku merinding, dan bau khas yang  paling aku benci, obat.
“Aku di mana, Halwah?” tanyaku lirih, masih dengan kondisi lemah, mata jelajahi ruangan sempit, hampa udara, kamar pasien yang amat tidak nyaman.
“Kau di Rumah Sakit, Rin. Sepertinya kau demam karena hujan.” Halwah menjawab pertanyaanku singkat.
“Lalu, amplopku?” tiba-tiba teringat amplop yang kini tak lagi kugenggam. Halwah nampak diam, lidah tak nampak ingin berucap kata. Aku tak menegerti arti diam Halwah, prasangka buruk terus menyudutkan sahabatku sendiri. Apa mungkin Halwah membuangnya  atau? hilang begitu saja?
“Kenapa dengan lisanmu, Wah. dimana amplop yang tadi kugenggam?” Kuulangi pertanyaanku.
“Oh, maaf  Nisrin aku melamun. Amplopmu kuletakkan dilaci meja, disampingmu." Ujar Halwah terlepas dari diam, sedikit gugup. Aku sedikit tak percaya, kubuka laci meja, dan ternyata amplop lusuh itu benar ada, lega, menghela nafas panjang dengan senyum tipis mengembang.
“Oia Rin, kuberitahu keluargamu, yah?” tawar Halwah dengan membetulkan selimut yang memelukku. Aku dan Halwah sudah seperti keluarga. Hampir 4 tahun kita hidup bersama jauh dari keluarga, tentu untuk menimba ilmu di kota tetangga. Ya, di tengah zaman yang semakin modern orangtua kami sama menghijrahkan putrinya ke tempat ini, bagaimana rasanya menjadi santri. Bukan di pedesaan, melainkan di tengah kota. Lingkungan kota yang menjunjung tinggi nilai agama, sebuah kota yang di dalamnya terdiri dari beberapa komplek dan itu khusus untuk para santri yang ingin menuntut ilmu. Huniannya tidak sama seperti pesantren pada umumnya, melainkan seperti kosan namun bedanya ini memiliki peraturan yang tidak jauh berbeda dengan pesantren.
“Rasanya tidak perlu, aku tak ingin libatkan mereka. Aku yakin dalam waktu dekat kondisiku pulih kembali.” Aku memohon pada Halwah untuk menutupinya dari keluargaku di rumah. Hanya tak ingin membebani mereka yang sudah susah payah mengucurkan keringat demi lembaran-lembaran atau bahkan koin yang bernilai di mata manusia.
    “Baiklah, kalau itu inginmu. Aku tinggal dulu ya, Rin. Sudah masuk waktu isya” Halwah pamit, dan hilang dari pandanganku, diikuti beberapa makhluk berjubah putih dengan senyum manis, tapi kuanggap tetap sinis karena pekerjaannya selalu berhubungan dengan obat, invus, dan yang lainnya, aku tak suka.
Hening, sendiri dalam ruangan pengap, suasana seram seperti difilm-film horor yang sering kulihat. Sirna, kembali teringat amplop lusuh dalam laci, kuraih dan kudekap erat takut kehilangan. Rapuh, kurasa saat ini.
Tiada cahaya menerobos dinding hati, hanya debu kelam, kotor melekat kuat, sendu, saat kenari tak mampu lambaikan sayap tuk merpati, sedikit kata goresan pun tak sanggup kubaca apalagi ku makna. Tanda tanya, kini penuhi fikir, dengan mengerutkan kening dalam-dalam namun tetap tak ku temukan jawaban.
Malam bertabur bintang, juga sabit-Nya seolah tak mampu hibur kenari agar tetap bersiul merdu saat mentari berseri di balai pagi. Hanya potret tua berwarna kusam yang kupunya, potret khotmil Qur’an dan dialog-dialog hampir usang yang masih terekam dalam agenda kehidupan, serta tak sedikit tinta kau titipkan pada buku catatan, satu untuk berdua. Rasanya, aku tak percaya terlalu lemah di mata dunia saat elang sombongkan keperkasaannya, saat merak jantan menari-nari memamerkan keindahan bulunya, lalu kenapa aku tak mampu sombongkan bulu-bulu indah juga suara merduku?
Bodohnya aku dimata merpati, yang kini pergi berkelana untuk hidupnya, dan aku tak pernah tahu kapan merpati itu kembali menghibur sepi, dan penat dibawah terik.
Malam, habiskan kesendirian dengan lumut duka melekat, perih terpaksa kusantap. Mungkin ini awal katastrofa dalam sejarah hidupku, kehilangan yang sangat menyakitkan, ditinggal seperti benar untuk selamanya.
Sudahlah aku terlalu berlebihan salahkan hidup, yang kutahu sekarang kenari tak lagi jadi kenari saat merpati pergi. Harapku, merpati kembali sapa kenari saat duka menyelimuti dan kepergiannya bukanlah kepergian yang sesungguhnya. Kepergian, yang sangat kutakutkan dalam hidup.
“Belum tidur, Rin...?” sapa Halwah yang tiba-tiba muncul di depan pintu, mengagetkan. Dengan singkat langsung kuusap airmata yang kian menyebar di sudut mata, serta kedua pipi.
“Belum ngantuk, Wah ... Kau tidur saja, sepertinya kau lebih lelah dariku” Aku menyuruhnya untuk tidur, dengan terus menggerakan jari tangan mengusap airmata yang tak henti berlinang.
“Kau terlalu larut dalam kesedihan. Bisakah sedikit kau ceritakan kisah pilumu, aku hanya ingin menjadi kawan dukamu, ciptakan kembali aurora di wajah ayumu, sahabatku.” Kali ini kelopak mata Halwah terlihat sendu, ia mendekat dan menggenggam tanganku erat.
Sepertinya halwah sangat tak tega melihat keadaanku, keadaan  yang kurasa begitu pedih.
“Aku bingung harus memulai dari mana” Aku masih tetap bingung, dengan airmata membendung.
“Mungkin kau belum mampu tahan sejenak air mata di pelupuk sayupmu” Ujar Halwah, sembari menggerakkan jemarinya menyapu airmataku, yang tanpa terasa semakin basahi pipi tiada henti.
“Maafkan aku,” Isakku kembali terdengar, meringis sepereti anak kecil mengais, mengharap ibunya memberi uang untuk sekedar mebeli es lilin atau balon. Kupeluk Halwah yang berdiri di samping ranjang tempatku berbaring, erat sekali. Ingin curahkan semua, tapi kutak bisa. Seolah lisan terkunci, dan tak kutemukan di mana gembok berada.
Kini, kenari tak mampu bersiul indahkan pagi, rayakan semi. Maafkan aku kawan, saat ini aku rapuh hanya karena cinta yang tak kutahu penyebab pastinya. Sayapku terluka, aku tak bisa lagi menari di awan, pita suaraku rusak dan aku tak bisa lagi bersiul menyapa pagi, seketika itu senyumku telah hilang, meskipun ada satu sayap sahabat di sisiku tapi saat ini aku tetap masih sulit untuk tersenyum.
*THE END*
BIODATA PENULIS
           
            Naira Nishwa, Lahir di Cirebon, tanggal 27 November 1991. Mahasiswi Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon. Sangat suka dunia menulis, dan berusaha terus menggali ilmu tentang menulis. Alhamdulillah usaha tidak ada yang sia-sia, setelah banyak belajar, banyak mencoba, dan bergabung dengan komunitas penulis akhirnya bisa menjadi juara ll Lomba Membuat Cerpen Tingkat Mahasiswa, bahagia tak terkira. Banyak sekali penulis yang membuat saya termotivasi, salah satunya Mayoko Aiko, Donatus A. Nugroho, Reni Erina, Handoko F. Zainsam, Gol A. Gong.
 
Nomor Telepon         :           0899 63 73 933
Alamat Facebook      :           Naira Nishwa Khan
Alamat Email             :           nairanishwa@ymail.com
Akun Instagram         :          @konsultandetox.id
 

0 Response to "Sepenggal Cerita dalam Novel"

Posting Komentar

Tinggalkan komentar positif, salam sayang saling mengunjungi