20 Desember 2006
Aku
tak menyangka ini, aku tak pernah menduga sebelumnya bahwa laki-laki di hadapanku
adalah Alif. Apa mungkin ini bagian dari hayalanku sendiri, atau bayangan semu
semata. Tapi ini sangat jelas, ya jelas sekali. Garis-garis air dari pelupuk
mata semakin terlihat jelas, dengan cepat aku menyekanya untuk berhenti jatuh
namun kembali gagal. Ya, aku menyepi dari kerumunan, mengindari hiruk pikuk
acara meskipun sepasang mata Halwah, Umi, Abi, bahkan Alif mencari
keberadaanku. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, aku biarkan kewajibanku
yang seharusnya mendampingi Halwah, yang seharusnya menyuguhi minuman untuk
tamu yang hadir, justru aku menghilang begitu saja. Kenapa Halwah menutupinya
dari aku?, kenapa ia selalu bungkam soal Alif di depanku?. Ah, sungguh aku
menyesal mengetahui ini, aku menyesal tak pernah bercerita sedikitpun tentang siapa
laki-laki yang telah membuatku susah tidur, telat makan, bahkan melamun. Ya,
menyesal. Lelakiku dan lelakimu ternyata satu, apa cinta seluar biasa ini?.
Dulu, mungkin aku berharap untuk bertemu dia, tapi bukan pada waktu yang
seperti ini. Allah, dekap aku saat ini saja, aku butuh kekuatan untuk menerima
segalanya.
“Kak,
Kak dipanggil Mbak Halwah,” sapa Syifa, adikku. Dengan segera aku mengusap
seluruh air yang mengalir di mata serta pipiku. Sungguh, ini adalah hal yang
paling sulit untukku menutupinya.
“I-iya,
nanti Kakak ke sana. Bilang sedikit sibuk…” jawabku dengan suara parau.
Semenjak
kejadian itu aku jadi tak ingin kembali ke rumah Halwah, ya sahabat sekaligus
kakak atau ibu untukku sendiri. Tak tahu sebab apa, aku tak lagi tinggal di
rumah itu, tak lagi mau mendengar suara lembutnya, tak lagi ingin menoleh ke
tempat itu. Ah, aku memang tak tahu terimakasih. Tapi, bagaimana mampu dengan
cepat dan sekejap aku memulihkan hati ringkihku, hati yang telah tak lagi
berwujud tempat yang megah, mewah, pun indah. Tak ada lagi cinta. Tak ada lagi
rindu, tak ada lagi sahabat. Yang kutemakan saat ini adalah penghianatan.
Meskipun sekali lagi menyadari, semua salahku. Terlalu menutupi sosok laki-laki
itu hingga kini. Biarlah.
“Seandainya
aku tidak makan, aku tidak minum, aku tidak tidur seharian apa kau masih
peduli?, seandainya aku kedinginan, aku sakit bahkan masuk ruang ICU karena
penyakit yang menggerogoti batinku, apa kau tetap peduli?, seandainya aku
dengan sekuat tenaga melawan maut sampai tetes air mata terakhir jatuh dan tak
mampu lagi ruh ini menyatu dengan jasad, sampai tubuhku diselimuti kain putih,
apa kau akan menangis?, apa kau akan menyesal?, apa kau tak lagi menyakitiku?.
Seandainya kau tahu… sungguh lelaki yang kudamba selalu selama ini adalah
lelaki yang kini telah menyematkan cincin pada jari sahabatku sendiri.” Sebuah
catatan usang yang Halwah temukan ketika ia membereskan kamar yang dahulu aku
tempati.
0 Response to "Lelakiku (Dalam Novel)"
Posting Komentar
Tinggalkan komentar positif, salam sayang saling mengunjungi