Terapi Menulis Sakit Hati

Pojokan kamer, 02 Agustus 2012



Cinta... cinta... cinta...
Ah sudahlah, sepertinya saya memang tidak diperkenankan Tuhan menemukan cinta dalam waktu dekat. Biar mengalir seperti air saja. Cinta takkan berbentuk cinta jika terpaksa. memang, tidak ada yang salah dengan saya jika menaruh rasa padanya, tapi sekali lagi semua yang indah takkan terjadi jika dia tidak memiliki rasa seperti saya. Saya memang memiliknya, tapi saya tidak bisa benar-benar menggenggamnya. :)
biar saja dia memilih yang dia ingini, tanpa saya paksa, tanpa saya gencet, tanpa saya sogok. Ya, semua kembali pada suaranya.

Terkadang, saya kembali pada ingatan waktu lalu, dimana kita saling bertukar cerita, berbalas kata cinta, memebri perhatian, menyatukan janji, tertawa, melontarkan candaan yang garing atau segar. Ya, dulu sangat indah sekali, bahkan sepertinya kisah cinta kita itu paling indah yang lain buruk semua *hey, kenapa saya jadi berkaca-kaca lagi
Ingat, itu dulu. Dulu. Bukan sekarang.
Sekarang kamu sudah berbeda, mungkin. Sekarang, kamu tidak lagi bertanya pada saya, berkata rindu, cinta dan lainnya tentang saya, mungkin. Sekarang, kamu bisa melepaskan semuanya demi keyakinanmu sendiri, mungkin. Sekarang, kamu tidak lagi menginginkan saya, mungkin. Sekarang kamu memilih pergi dan membiarkan aku sendiri, mungkin.

Katamu tak ingin lagi membuat saya sakit, tak ingin lagi membuat mataku basah. Tapi, apa kamu mengerti yang kamu lakukan sekarang ini apa?, apa kamu berpikir dengan kamu melakukan hal  semacam ini saya akan berhenti menangis?, berhenti sakit?, tidak. Tidak sama sekali. Airmata ini akan berhenti mengalir ketika kamu mengulurkan tangan pada saya, ketika jemarimu menyentuh lelehan airmata saya, ketika suaramu membisiki kalimat bernyawa positif di telinga saya. Sesak sekali dada saya malam ini, meskipun berlembar-lembar tisyu saya pakai untuk mengeringkan airmata, meskipun sering kali tenggorokan ini menelan air untuk menenangkan. Tapi, tetap saja rasanya seperti diserbu pasukan air dari segala penjuru, sulit mengatur napas.

Ah... coba lihat, tisyu itu penuh dengan air yang keluar dari mata saya. Hidungku sampai mampet, dipenuhi cairan yang membuat napasku tersumbat, leherku seperti tercekik. sakit. Kepala saya mulai pusing, seperti melayang tak terkendali apapun. terus melayang jauh, tanpa mendengar suara apapun yang memanggil bahkan berseru meneriakkan nama saya. Tulisan ini sudah penuh lagi, sampai di penghujung malam baru kemudian saya akan berhenti melanjutkan memintal kata pada benang panjang. Saya perlu mimpi malam ini. Ya, mimpi yang indah bukan buruk karena seharian memikirkan kamu. Saya perlu waktu lama untuk memudarkan semuanya. Saya masih ingat beberapa tahun di masa lalu sebelum mengenalmu, itu adalah masa-masa pelepasan rasa cinta yang saya miliki pada laki-laki lain. Dia meninggalkan saya dengan wanita lain, sekarang bahkan sudah menikah dan memiliki anak. Hahahhaa itulah masa lalu pahit, dan saya ambil pelajaran manisnya. Kemudian bertemu kamu, kita saling berucap ini dan itu, ingin ini dan itu, harus saling ini dan itu... ah, ternyata lagi-lagi saya harus berteman dengan luka. Saya pikir, karena perjalanan kita sudah sangat jauh sangat disayangkan kalau kita akhiri begitu saja, seperti wanita dungu saya seperti ini. Ih lugu.

Saya meminta pada Tuhan saya, bukan yang lain. Saya selalu berharap Tuhan memberi yang terbaik untuk hidup dan mati saya. Saya berharap pada tuhan, bahwa kamulah laki-laki yang nanti jadi pusat mencari pahala menuju syurga-Nya, saya... saya berharap kamulah yang nanti melindungi saya, mengecup kening saya setiap pagi sebelum berangkat kerja, kamulah laki-laki yang nanti jadi ayah untuk anak-anak saya, kamulah yang nanti selalu mendukung karir saya. Kamulah yang nanti segalanya bagi saya. Tapi ternyata... Tuhan masih belum memberi teropong untuk saya dapat melihat bagaimana ke depan. Ya, harapan saya terlalu besar dan ketika jatuh pun sangat sakit sekali.

Sudahlah, terlalu banyak bicara malam ini. Kasihan dengan mata saya, sudah banyak kristal bening yang ia keluarkan. Malam juga semakin larut, sudah sunyi suasananya. Biar saya sudahi malam ini dengan menutup pulpen, menutup buku dan meletakkannya di bawah bantal seperti biasa yang saya lakukan, memasang aerphone dan setel lagu kesukaan setelah itu menutup mata. Titip harapan saya ya, Tuhan. Biar Engkau saja yang memberi nikmat, bingkisan terindah dan terbaik untuk saya. Mungkin Engkau tidak suka saya mencintai seseorang sebelum waktunya, makanya Engkau beri jaralk diantara kami. Ah, Engkau pasti cemburu dan sakit ketika saya lebih banyak mengingat laki-laki itu daripada-Mu, maafkan saya... Saya mengaku lemah, saya berdosa, hanya ada Engkau  di setiap waktu menemani saya. Saya percaya, Engkau ada, Engkau menjaga.

Menulis itu juga sebagai terapi, terapi mengobati penyakit hati juga pikiran. Ya, saya merasakannya, setelah menulis, menuangkan apapun yang ada di hati saya dengan tulisan, rasanya sedikit lega. Kata-kata ini penuh nyawa, tidak pernah mati. Silahkan mencoba, menulis, ya... ^_^
#Malam yang sederhana untuk jiwa yang bisa dikatakan sedikit gundah gulana.

0 Response to "Terapi Menulis Sakit Hati"

Posting Komentar

Tinggalkan komentar positif, salam sayang saling mengunjungi